Halaman

Senin, 18 Juli 2011

HKBP Harus Mampu Terapkan Multikulturalisme

Seminar : Prof. Hotman M. Siahaan saat menjadi pemateri pada seminar sehari yang diadakan Panitia Jubileum 150 Tahun HKBP (Distrik XXV Jambi) dengan Tema “HKBP MENJADI BERKAT DALAM PLURALITAS MASYARAKAT JAMBI“ di Jambi, Sabtu (16/7). foto batakpos/rosenman manihuruk

Seminar Jubileum 150 Tahun HKBP


Jambi-BATAKPOS-Melihat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dalam konteks Pluralisme, pandangan yang ditawarkan disini adalah melihat peran HKBP dalam perspektif multikulturalisme. Yang pada hakekatnya berbeda dengan pluralisme.

Karena pluralisme lebih merujuk kepada hadirnya sejumlah kebudayaan yang masing-masing memiliki identitas, ciri-ciri, dan keunikannya masing-masing. Setiap kebudayaan adalah otonom, maka unsur pengikat keberagaman kebudayaan itu adalah kebijakan negara yang bahkan seringkali secara by force.

Salah satu kategori mayarakat majemuk yang secara kontekstual relevan dengan masyarakat Indonesia adalah apa yang disebut sebagai masyarakat majemuk dengan fragmentasi, yaitu masyarakat-masyarakat yang terdiri atas sejumlah besar kelompok etnis tanpa satupun di antaranya memiliki posisi politis yang dominan.

Hal tersebut diungkapkan Prof. Hotman M. Siahaan ( Universtas Airlangga) pada seminar sehari yang diadakan Panitia Jubileum 150 Tahun HKBP (Distrik XXV Jambi) dengan Tema “HKBP MENJADI BERKAT DALAM PLURALITAS MASYARAKAT JAMBI“ di Jambi, Sabtu (16/7/2011).

Menurut Hotman M. Siahaan, masyarakat sedemikian ini sangat kuat ditandai oleh kehidupan politik yang labil, rendahnya kemampuan untuk mengembangkan koalisi yang diperlukan untuk mengakomodasi konflik-konflik yang pada umumnya cenderung bersifat anarkis sebagai akibat kecurigaan etnis.

Sementara itu, multikulturalisme ingin menumbuhkan kesadaran akan kehadiran kebudayaan-kebudayaan lain di lingkungan di dalam setiap kebudayaan. Kesadaran bahwa suatu masyarakat tidak hidup sendiri melainkan ada karena masyarakat lain, ingin ditumbuhkan dalam setiap kebudayaan.

Perspektif multikulturalisme yang sederhananya merupakan diskursus untuk mengatasi perbedaan yang berasal dari keberagaman etnik dan budaya dalam suatu negara (bangsa) yang meliputi pemahaman dan penghargaan terhadap budaya lain.

Disebutkan, sebagai ajaran, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan keyakinan mengenai bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom seperti etnisitas dan budaya, semestinya dikelola dalam ruang publik.

Hotman Siahaan juga mempertayakan kemanpuan HKBP mensosialisasikan paham multikulturalisme dan apakah HKBP sebagai institusi gereja merupakan pemelihara status quo hingga dia memilih menjadi konservatip.

Disebutkan, HKBP sesungguhnya bisa tampil sebagai the idea of progress. Peran gereja sebagai pemelihara status quo adalah sama dengan menempatkan gereja sebagai kekuatan konservatip.

“Misalnya kuatnya anggapan di kalangan gereja bahwa kegiatan utamanya selayaknya ditujukan kepada upaya untuk berpartisipasi dalam nation building dan karena itu gereja berperan sebagai penjaga status quo,”katanya.

Disebutkan, bagaimanakah pemahaman gereja HKBP dalam kediriannya di masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Adakah HKBP dipahami bukan sebagai institusi yang sempurna dan suci murni yang mengantarai jemaatnya dengan Tuhan, tapi merupakan gereja manusia (Batak) biasa dengan daging dan darah.

“Pergolakan masyarakat adalah pergolakan gereja, dan unsur keputusan tiap anggota HKBP serta tindakannya dari waktu ke waktu bakal menentukan wujud kekristenan dalam sejarah. Gereja HKBP, dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada unsur ilahi, selalu merupakan gereja dengan dan karena keputusan dan pilihan jemaat yang menjadi anggotanya,”ujarnya.

Menurut Hotman, persoalan yang muncul dalam pemikiran adalah bagaimana HKBP dapat menjadi historis dan konkrit tanpa melepaskan hakiki yang harus disampaikannya.

“Atau pandangan yang melihat HKBP selalu merupakan hakekat yang historis, yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan dan bukan suatu hakekat metafisik, yang tertutup, selesai, tak mengandung gerak dalam dirinya, dan mantap dalam keabadian,”katanya.

Disebutkan, HKBP bukan sebagai sesuatu yang selesai dan sempurna dan perlu dipertahankan, tapi sebagai hasil perkembangan dari waktu ke waktu dalam proses mencari, menyaring, menyesuaikan dan menemukan dirinya.

“HKBP sebagai suatu struktur yang dibangun dalam suatu ruang tertentu (struktur dan lembaga sosial ataupun kebudayaan) dan HKBP sebagai exodus, perjalanan terus-menerus menuju masa depan sambil meninggalkan perkemahan sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal tetap, kita mencari kota yang akan dating,”katanya.

Dikatakan, pandangan yang dominan mengenai HKBP dewasa ini dia harus kembali melihat dirinya sebagai jemaat yang harus keluar dari struktur sosial yang nampaknya tidak lagi sesuai dengan masyarakat sebagaimana dikehendaki.

“Masalahnya, bagaimana menghubungkan antara exodus itu dengan the idea of progress HKBP dalam usianya yang ke-150 tahun?. HKBP sebagai institusi civil society selayaknya perlu merumuskan sikap politik mengantisipasi dinamika masyarakatnya demi meningkatkan pelayanannya yang memberdayakan warganya,”katanya.

Sementara itu Dr. Ir. Dompak M.T. Napitupulu, MSc (Dosen Universitas Jambi) dalam makalah seminar itu mengatakan, kontribusi HKBP dalam pembangunan masyarakat Indonesia salah satunya dapat dilakukan dan lebih ditingkatkan dengan merubah perilaku jemaat HKBP dalam mengisi kehidupan bermasyarakat yang dilakoninya.

Selain itu, HKBP sebagai lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang berada di tengah tengah masyarakat pluralis yang diwarnai oleh kelompok mayoritas dominan harus mampu meninjau ulang dan rekonstruksi kembali titah teologi yang diinduksikannya.

“HKBP harus mampu dan mau reformulasi pemahamannya akan misi yang diembannya. Dengan tetap mentaati firman Tuhan Yesus untuk selalu mengasihi sesama manusia meskipun harus lebih kasih kepada saudara seiman (Gal 6:10),”ujarnya.

Disebutkan, HKBP harus mau mengkaji ulang strategi penginjilan yang dilakukan sehingga tidak memperoleh penolakan dari masyarakat sekitar tetapi sebaliknya memperoleh sokongan sebagaimana yang diperoleh Ompui Dr. I.L. Nommensen dari halak Batak pada saat memberitakan injil ke tanah Batak.

“Agar semangat Jubileum 150 tahun dapat berbuah di tengah-tengah jemaat HKBP Distrik XXV Jambi dan masyarakat sekitarnya maka jemaat bersama-sama penatua gereja harus dapat memperbaharui dirinya dengan pendekatan local,”katanya.

Disebutkan, pelayanan gerejawi harus dapat diwujudkan melalui suatu tindakan nyata yang lebih konkret dalam mengatasi kemiskinan dan ketertinggalan. Back to Philosophy Pargodungan ni Ompui Nomensen.

Dewasa ini kehadiran HKBP misalnya dapat terlihat pada saat ada bencana alam. HKBP Jambi dalam rangka merayakan Jubileum 150 Tahun melalui Diakoni Sosial hadir dengan membagi-bagikan bantuan berupa materi (sembako) kepada sejumlah warga masyarakat yang kurang mampu di sekitar gereja.

Kemudian Gereja HKBP sudah saatnya melakukan pemberdayaan jemaat dan masyarakat melalui peningkatan kualitas Sumberdaya Modal dan Sumberdaya Manusia.

Hal ini sebagai misal dapat dilakukan melaui fasilitas simpan pinjam (CUM) pemberian motivasi (mind-set revolution), keterampilan (Balai Latihan Kerja), peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, menyiapkan dan menyalurkan bantuan teknologi dan usaha-usaha lain yang dapat meningkatkan taraf hidup warga gereja dan sesama manusia.

“Akhirnya, HKBP harus menyadari bahwa dalam mengemban tugas pelayanannya masih berhadapan dengan setumpuk persoalan baik dalam lingkungan internal maupun eksternal,”katanya.

Disebutkan, HKBP tidak ada pilihan selain untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi dengan penuh komitmen yang didasari iman Kristen. Menjadi berkat di tengah masyarakat Indonesia yang plural dominan membutuhkan kebesaran jiwa untuk sungguh sunguh menjadi Gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka. (Asenk Lee Saragih)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar