Drs Saur Hutabarat. Foto Rosenman Manihuruk (Asenk Lee Saragih) |
(Percikan Pemikiran)
Oleh: Drs. Saur Hutabarat
1.Di tengah sebuah acara adat, seseorang yang duduk di samping saya bertanya secara personal: "Sampai kapan adat Batak ini bertahan?"
"Selama masih ada HKBP," jawab saya spontan.
Yang bertanya kemudian diam, lalu tersenyum.
Saya tidak tahu persis apa arti senyumnya itu. Yang jelas, dia tidak meneruskan pertanyaannya.
2.Episode itu ingin menunjukkan bahwa HKBP merupakan tiang utama untuk menyanggah dua aspek kemajemukan sekaligus.
Sudah Batak, Kristen pula. Sudah Kristen, Batak pula. Terserah yang mana duluan disebut, hasilnya adalah minoritas pangkat dua yang menyatu dan melekat dalam satu tubuh dan jiwa yang bernama HKBP.
Oleh karena itu, tak bisa lain, HKBP dalam konteks pluralitas jelas menyandang tugas berat karena sekaligus memikul dua dimensi minoritas, dua dimensi keanekaragaman, dua dimensi horizontal, yang terkadang sulit dipisahkan dari hubungan yang vertikal, yaitu dengan iman terhadap Sang Khalik Langit dan Bumi.
Dan di sanalah bersemayam antitesis berkat, yaitu perbedaan dapat menjadi laknat dalam pluralitas.
3.Berkat itu tipis jaraknya dengan laknat. Tanpa kearifan sosiologis, dalam konteks pluralitas, berkat dapat dengan mudah berubah menjadi laknat.
Pertanyaannya, kearifan seperti apakah yang diperlukan? Hemat saya, baiklah diawali dengan kearifan atas perkara-perkara kecil.
Sebab, "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar."
Salah satu yang kecil itu ialah membuat daftar the don't's dan the do's dan melaksanakannya secara konsisten.
Yang pertama, the don't's, memerlukan otokritik, yaitu hati yang terbuka ke dalam. Sedangkan yang kedua, the do's, memerlukan hati yang memberi, yaitu hati yang terbuka keluar.
Contoh the don't’s ialah jangan parkir semau gue karena berpotensi bikin marah lingkungan sekitar gereja. Bukankah HKBP membangun gereja nyaris tidak disertai dengan pikiran bahwa umatnya akan bertambah-tambah berkatnya sehingga yang sekarang naik oplet kelak naik mobil sendiri dan karena itu memerlukan lahan khusus untuk parkir?
Berkat itu memang datang melimpah. Akan tetapi, dengan akibat merampas ruang publik bahkan juga ruang privat orang lain untuk parkir. Itu adalah laknat yang bisa menyulut konflik di tengah pluralitas.
Contoh the do's ialah gereja ikut serta memberikan kambing atau lembu kepada RT/RW setempat pada hari raya Idul Adha. Sesuatu yang menunjukkan kerukunan beragama di tingkat horizontal.
Contoh lain yang bukan seremonial ialah HKBP mengambil peranan dalam pencegahan primer penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja. Yaitu, dengan cara menghasilkan remaja-remaja yang mampu menjadi duta-duta antinarkoba di sekolah masing-masing.
Drs Saur Hutabarat. Foto Rosenman Manihuruk (Asenk Lee Saragih) |
Semua itu digodok dan ditelurkan di lingkungan HKBP Center dan kemudian
hasilnya masuk ke sekolah-sekolah secara personal maupun institusional.
4.Semua itu contoh kearifan kecil. Tentu saja HKBP mampu memberikan kearifan besar.
Berkat yang akan berbuah ialah memberi pancing dan bukan ikan. Dan itu jelas kearifan besar, bukan kecil.
Adalah layak dipikirkan dan kemudian diwujudkan bahwa sekolah-sekolah di bawah naungan HKBP memberikan kuota 10% dari daya tampung gratis untuk masyarakat setempat.
Memberikan persembahan persepuluhan menyenangkan hati Allah. Pun demikian pula kiranya memberikan persembahan persepuluhan bagi pendidikan masyarakat di mana gereja berada sebagai minoritas di tengah pluralitas. (Saur Hutabarat)
(Disampaikan Pada Seminar Sehari Panitia Jubileum 150 Tahun HKBP (Distrik XXV Jambi) di Hotel Ceria Maal Kapuk Jambi, Sabtu 17 Juli 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar