Tegar : Indra Azwan bersama pendampingya, Pudji
Kristianto saat menepaki Kota Jambi tepatnya di Jalan Gajah Mada, Jelutung Kota
Jambi, Kamis (10/5/2012). Masyarakat Kota Jambi banyak bersimpatik kepada Indra
Azwan dengan melakukan foto bersama serta memberikan bantuan alakadarnya. Foto
batakpos/rosenman manihuruk
Jambi, BATAKPOS
Mencari keadilan bagi masyarakat tak punya di Negeri
ini, memang bagakaikan “Punggug Merindukan Bulan”. Ungkapan itu yang dialami Indra
Azwan, pria asal Malang yang kini bertekad melanjutkan jalan kaki ke Mekkah
untuk mencari keadilan atas kasus tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki
Andika (12), pada 1993 silam. Kamis (10/5/2012) pria tangguh berusia 53 tahun ini
menapakkan kakinya di Kota Jambi.
Dengan pakaian yang lusuh, dengan tas dipunggung
serta sebuah poster bertuliskan “menuntut keadilan”, Indra Azwan bersama Pudji Kristianto,
pendamping Indra, mereka memasuki perbatasan Sumatera Selatan-Jambi subuh dan
tiba di Kota Jambi sekira pukul 09.15 WIB.
Bendera itu sudah lusuh dan kotor. Namun, toh, ia
percaya bendera itu bagian dari keadilan yang harus diperjuangkan. Ada juga dua
kain putih yang tak lagi putih. Di kain itu terdapat tulisan bewarna merah
berbunyi: "Yth Presiden SBY, nyawa anakku harus dihargai. Saya tidak butuh
amplop Rp 25 juta oleh istana. Saya tidak butuh janji oleh Kapolda Jatim Rp
2.500.000. Hanya satu harga mati. Akan saya kembalikan semuanya. Keadilan. Demi
nyawa anakku. 18 tahun berjuang".
Indra Azwan yang sempat berbincang-bincang dengan
BATAKPOS mengatakan, dirinya akan melanjutkan perjalanan kakinya dari
Jambi-Riau-Dumai-Singapura-Malaysia-Thailand-Nyanmar hingga ke Mekkah.
“Kami akan melanjutkan perjalanan hingga ke Mekkah.
Ganti sepatu baru dilaksanakan jika sudah mencapai 2000 kilometer. Banyak
masyarakat disepanjang yang kami lintasi bersimpatik. Mereka ada yang
menawarkan makanan, memberikan uang untuk sejedar beli minuman. Kalau soal
menginap, kami menginap di “Hotel Kuda Laut” atau SPBU,”kata Indra Azwan.
Saat melintas di Jalan Gajah Mada, Jelutung Kota
Jambi, Indra Azwan banyak mendapat perhatian dari masyarakat Jambi. Masyarakat
banyak yang meminta foto bersama hingga memberikan bantuan sekedar beli air
minum perjalanan.
Karyawan Asuransi Sinar Mas tampak bersimpatik dengan
aksi yang dilakukan Indra Azwan untuk mencari keadilan di Negeri ini. Mereka
juga tidak segan-segan untuk foto bersama dan memberikan bantuan alakadarnya.
Pejalan kaki asal Malang yang bertekad melanjutkan
jalan kaki ke Mekkah untuk mencari keadilan terhadap kasus tabrak lari yang
menimpa anaknya, Rifki Andika (12), pada 1993 silam. Pelaku tabrak lari itu
diketahui Komisaris Polisi (Kompol) Joko Sumatri. Dalam persidangan militer,
Kompol Joko Sumantri divonis bebas dan kini masih menjabat di salah satu Polres
di Jawa.
Selasa
(17/4/2012) malam mereka tiba di Hotel Kuda Laut, sekalian booking kamar di
lantai 24.306.153 Tebing Suluh, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Hotel Kuda Laut ini adalah SPBU Pertamina. SPBU
selalu menjadi tempat persinggahan Indra dan Pudji, dalam perjalanan panjangnya
dari Malang hingga ke Jambi. Indra menginjakkan kaki di Pulau Sumatera, melalui
Bakauheni, Lampung Selatan, 1 April lalu. Ia telah menempuh perjalanan 17 hari
sejauh 280 kilometer dari Bakauheni hingga ke OKI, Sumsel.
Menurut Pudji, dia akan mendampingi Indra Azwan
hingga di Dumai, Riau. Dari Dumai, Indra akan melanjutkan perjalannya ke Mekkah
dengan menyeberang ke Singapura, Malaysia, Nyanmar, Thailand dan berujung di
Mekkah.
Tindakan nekat jalan kaki ke Mekkah ini dilakukan
Indra, karena dia kecewa dengan praktik penegakan hukum di Indonesia. Kasus
tabrak lari anaknya yang melibatkan seorang perwira polisi hingga kini masih
mengecewakannya, karena pelaku tidak dihukum.
Pada (20/3/2012) lalu, Indra Azwan, tidak bisa mewujudkan
mimpinya bertemu Presiden SBY. Sebagai rakyat biasa, Indra hanya ingin mengadu
dukanya. Selama 18 tahun keadilan yang dia dambakan tak kunjung dia peroleh.
Harapan pun dia gantungkan pada sosok SBY selaku
pemimpin negeri ini, tapi niat Indra Azwan, hanya mimpi. Saat tiba di Istana,
Indra Azwan justru dikondisikan bertemu dengan Denny Indrayana.
Indra Azwan saat di Jakarta singgah di LBH Jakarta,
Jl Diponegoro, Jakarta. Indra tidak ingin neko-neko saat bertemu SBY, dia ingin
mengembalikan uang Rp 25 juta yang dahulu pernah diberikan SBY sebagai
santunan.
Pada 18 tahun lalu, anak Indra meninggal karena
ditabrak seorang polisi. Tapi sang penabrak bukannya mendapat hukuman tapi
bebas di pengadilan militer.
Sejak zaman Soeharto, Indra sudah mendamba keadilan.
Pemerintahan berganti, kini harapan ada pada SBY, namun apa daya mimpi dia
mengadu ke seorang presiden hampa. Gambaran pria Malang ini, mungkin mewakili
rakyat kecil di negeri ini yang merindukan keadilan.
“Saya cerita maksud dan tujuan saya ingin bertemu
bapak presiden saat di Jakarta, tapi ditolak,”katanya. Melalui Wamen Denny,
Indra menitipkan uang yang dahulu pernah diberikan SBY sebanyak Rp 25 juta
dalam bentuk pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu dia kembalikan ke SBY melalui
Denny.
Serah terima kepada Denny Indrayana sejumlah uang
sebanyak Rp 25 juta di Gedung Bina Graha lantai 1. Indra merasa berdosa kepada
anaknya bila menerima uang itu. Indra Azwan hnaya menginginkan keadilan bagi
anaknya, bukan uang semata.
Karena itu jua, dia pun rela berjalan kaki dari
Malang ke Jakarta. Indra Azwan menganggap, uang yang diberikan padanya adalah
bentuk suap. “Membungkam mulut saya salah alamat. Terserah anggapan masyarakat
tentang saya, saya tanggung sendiri resikonya,”ujarnya.
Aksi Indra Azwan yang menapaki kakinya dari Malang
hingga ke Mekkah nantinya, merupakan perjuangan dalam mencari keadilan di
Negeri ini. Motivasi dan semangat yang ditunjukkan Indra Azwan, bisa membuka
mata nurani aparat penegak hokum di Negeri ini, agar dapat memberikan keadilan
bagi rakyat tak punya dalam keadilan hukum.
Semoga perjuangan Indra Azwan mendapat kekuatan Doa
dari masyarakat Indonesia, agar cita-cita Indra Azwan mengakhiri
pengembaraannya di Mekkah dengan selamat. Semoga. RUK
Indra Azwan bersama pendampingya, Pudji
Kristianto saat menepaki Kota Jambi tepatnya di Jalan Gajah Mada, Jelutung Kota
Jambi, Kamis (10/5/2012). Masyarakat Kota Jambi banyak bersimpatik kepada Indra
Azwan dengan melakukan foto bersama serta memberikan bantuan alakadarnya. Foto
batakpos/rosenman manihuruk
***************
"Presiden, Saya Mau Keadilan, Bukan Amplop Rp 25 Juta"
Indra Azwan, sang Singo Edan di LBH Jakarta. Indra Azwan (53), seorang pencari keadilan atas kasus
tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki Andika (12), pada 1993 baru tiba di
Jakarta, pada Minggu malam (18/3/2012). Ia tampak membuka balutan perban luka
di telapak kakinya sambil menahan sakit.
JAKARTA, Indra Azwan (53)–seorang pencari keadilan
atas kasus tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki Andika (12), pada 1993–baru
tiba di Jakarta pada Minggu (18/3/2012) malam. Lelah. Itu yang terlihat di
wajah pria yang sering menyebut dirinya "Singo Edan" ini.
Kulitnya tampak gosong. Rambutnya yang beruban pun
lepek karena keringat saat menempuh jarak Malang-Jakarta dengan berjalan kaki.
Tertatih-tatih, pria paruh baya ini berjalan memasuki aula kecil di Gedung
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Menteng, Jakarta Pusat.
Sesekali ia meringis menahan sakit di kakinya, sambil
berusaha duduk di atas sebuah papan di ruangan itu. Perlahan, Indra meletakkan
tas ransel yang menemaninya selama 30 hari perjalanan. Di ransel berwarna hitam
itu, terselip bendera merah putih yang senantiasa menemani perjalanannya.
Bendera itu sudah lusuh dan kotor. Namun, toh, ia
percaya bendera itu bagian dari keadilan yang harus diperjuangkan. Ada juga dua
kain putih yang tak lagi putih. Di kain itu terdapat tulisan bewarna merah
berbunyi: "Yth Presiden SBY, nyawa anakku harus dihargai. Saya tidak butuh
amplop Rp 25 juta oleh istana. Saya tidak butuh janji oleh Kapolda Jatim Rp
2.500.000. Hanya satu harga mati. Akan saya kembalikan semuanya. Keadilan. Demi
nyawa anakku. 18 tahun berjuang".
"Saya akan kembalikan uang Rp 25 juta dari
Presiden yang beliau titipkan melalui Kepala Bagian Rumah Tangga Istana. Saya
tidak butuh uang itu," ujarnya sambil membuka sepatunya perlahan-lahan.
Wajah Indra terlihat menahan perih di kakinya. Tampak
luka-luka berdarah di sekitar jemari kaki Indra telah bercampur dengan debu. Ia
menolak diberikan obat luka di kakinya. Sambil meringis, ia menggosok kakinya
dengan minyak tawon.
Luka itu muncul akibat berjalan kaki dengan rute
Malang, Surabaya, Gresik, Lamongan, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, Semarang,
hingga akhirnya tiba di Jakarta.
Sebelum bertutur tentang niatnya. Pria tua ini pun
mengenang perjalanannya selama 30 hari berjalan kaki. Sekali-kali, ia bercanda
untuk melepas penat.
"Saya tidurnya kalau capek, ya, di hotel. Hotel
Kuda Laut. Tau, kan? Itu, lho, SPBU, kan, gambarnya kuda laut. Kalau makan di
tempat yang mesti berantem. Berantem sama lalat dulu," kata dia sambil
tertawa.
"Saya kemarin diajakin makan sama kru TV yang
meliput di tempat makan. Saya tolak. Lah, saya enggak cocok makan di tempat
mewah begitu. Cocoknya di warteg, yang ada sayur asemnya," kata Indra.
Menurut Indra, kadang sejumlah warung yang ditemuinya
tidak ingin Indra membayar makanan yang dimakannya. Ia hanya tersenyum dan
mengucapkan terima kasih untuk kebaikan hati orang-orang itu. Dalam
perjalanannya, Indra paling lama beristirahat selama satu jam.
Waktu itu ia habiskan untuk mengisap sebatang rokok
kretek dan segelas kopi. Satu tempat yang tidak ingin ia singgahi dalam
perjalanannya adalah kantor polisi.
"Sudah banyak polisi yang nawarin saya kalau mau
istirahat bisa di pos mereka. Saya tolak. Saya enggak mau. Saya enggak percaya
lagi sama polisi," ujarnya.
Sambil mengeluarkan isi tasnya, Indra mengatakan, ia
hanya membawa empat baju hitam bergambar Singa dan tiga celana pendek serta
bekal minum seadanya. Dua bungkus rokok kretek dibawa menemani langkahnya
menuju Ibu Kota.
"Saya kasih Presiden waktu paling lambat sampai
hari Rabu minggu depan. Kalau tidak, tanggung akibatnya sendiri," kata
Indra dengan wajah datar.
Akibat apakah yang harus ditanggung Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono jika tak menerima kehadiran Indra? "Ya, beliau akan
diketahui oleh dunia internasional bahwa seorang presiden pun mengenal amplop
untuk menyelesaikan masalah. Saya masih simpan slip-slip asli yang waktu itu
diberikan kepada saya," ungkap Indra.
Jika, tujuannya untuk mendapatkan keadilan bagi putra
terkasihnya tak terpenuhi, Indra bersiap pergi ke Mekkah. "Kalo tidak
dipenuhi tuntutannya, saya akan mengadu, pengaduan terakhir saya akan ke Mekkah
dari Jakarta," ujar Indra.
Sambil duduk menghela dan mengembuskan napas beberapa
kali membuang lelah, Indra menyatakan ini ia lakukan demi penantian keadilan
untuk anaknya selama 19 tahun.
Sambil membetulkan topi biru bertuliskan Arema yang
sering dipakainya, Indra menyatakan istri dan keluarganya mendukungnya demi
mendapatkan keadilan.
"Istri saya tahu sampai di mana kemampuan saya.
Dia justru tertawa melihat saya. Dia mendukung saya untuk melakukan ini. Ini
demi putra saya," ujar Indra.
Sebelumnya diberitakan, pada tahun 2010, Indra
mendapat uang senilai Rp 25 juta dari pihak Kepala Rumah Tangga Istana terkait
kematian putranya. Indra menerima uang itu setelah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono saat itu menjanjikan bantuan untuk membongkar kembali kasus
kecelakaan anaknya.
Hingga kini, pelaku tabrak lari, Komisaris Joko
Sumatri, melenggang bebas. Presiden, ketika bertemu Indra pada 2010, berjanji
menginstruksikan aparat penegak hukum untuk menuntaskan kasus tersebut.
Saat itu, Presiden didampingi Menteri Sekretaris
Negara Sudi Silalahi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, dan
Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana.
Namun, hingga kini, janji Presiden tinggalah janji
belaka. Penuntasan kasus tersebut tak kunjung selesai. (KOMPAS.com Maria
Natalia | Benny N Joewono | Senin, 19 Maret 2012 |)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar